Tinggal beberapa puluh jam lagi, kita akan memasuki tahun yang baru, tahun 2019. Banyak hal yang membuat orang gentar memasuki tahun 2019 itu, dalam konteks NKRI, kita akan memasuki tahap-tahap akhir dari tahun politik. Para calon legislator untuk tingkat kabupaten/kota, propinsi apalagi nasional akan sangat sibuk untuk menawarkan diri untuk dipercaya menjadi wakil para pemilih di dewan legislatif. Demikian juga untuk para calon anggota DPD. Baliho sudah mereka pampang sejak beberapa waktu lalu, bahkan sudah banyak yang robek atau runtuh. Namun yang paling seru adalah kontestasi untuk calon presiden dan wakil presiden NKRI. Untung hanya ada dua pasangan calon, namun demikian denyut nadi perpolitikan negara ini bertambah cepat, dan suhu politiknya pun memanas. Apalagi kerap ditingkah oleh khabar yang bersifat kontroversi. Belum lagi hoax yang berseliweran di media sosial. Kebanyakan orang tidak paham untuk membedakan hoax dengan berita yang benar. Maka tidak mengherankan bila banyak orang turut terlibat dalam penyebaran hoax itu. Apakah betul Indonesia akan bertabah jaya di tahun-tahun mendatang, atau bahkan Indonesia terancam musnah? Beragam tafsir atas penyataan-penyataan kontroversi di atas, berseliweran di media sosial, radio, televisi, ataupun media cetak. Sedikit banyak berita-berita itu menambah rasa gentar untuk memasuki tahun yang baru.
Kesatuan bangsa yang telah diperjuangkan serta dipelihara sepanjang sejarah negara ini, sekarang memasuki tahap yang mengkhawatirkan. Sikap-sikap intoleransi bermunculan di banyak tempat. Intoleransi keagamaan adalah peristiwa yang sangat menggentarkan. Apa lagi politik turut warnai sikap intoleransi ini. Akankah Pertiwi manangis? Bahkan bencana dan musibah yang datang beruntun menghajar negara yang cantik ini sering dimanfaatkan pula demi kepentingan politik. Menolong korban jiwa yang melayang akibat dari bencana banyak dengan pamrih politik. Berita ini telah turut menggentarkan. Sayangnya kedatangan tahun baru tidak bisa dicegah, bagaimana pun kita akan segera memasukinya. Peristiwa natal baru saja berlalu, namun getarnya masih terasa kuat. Kelahiran sang Imanuel adalah inti peristiwa natal itu. Kalau kita yakin, seyakin Nabi Yesaya dan malaikat Gabriel yang meneguhkan hati Yusuf yang bimbang bahwa Allah menyertai kita (Yes 7:14; Mat 1:23), harusnya kita menyongsong tahun baru dengan hati yang besar. Bukankah hal buruk itu tidak akan terjadi tanpa ijin Allah? Kalaupun Allah ijinkan keadaan buruk menimpa negara kita ini, namun kalau kita menjalaninya dengan tuntunan Allah, apakah hal itu belum cukup? Mantapkan langkah, menyongsong tahun baru, sebab Tuhan Yesus adalah Sang Imanuel. (PurT)
Begitu banyak gambaran gembala dan relasinya dengan domba-dombanya dalam Alkitab. Semisal Mazmur 23 yang terkenal itu tentang Gembala yang baik, kemudian kitab Nabi Yehezkiel 34 yang menggambarkan Tuhan sebagai Gembala yang baik diperbandingkan dengan gembala jahat, dan Yoh 10 tentang Tuhan Yesus sebagai Gembala yang baik. Tidak mengherankan saat kelahiran Tuhan Yesus para gembalalah yang diberi kehormatan untuk menjadi penyaksi awal. Para gembala di padang Efrata ini adalah para gembala khusus yang menjaga domba-domba khusus untuk korban di Bait Allah. Namun malam itu menjadi malam yang sangat istimewa bagi mereka. Peristiwa itu pun dikenang orang Kristen di seluruh dunia hingga kini. Seorang malaikat tiba-tiba datang mengejutkan ketenangan hati mereka malam itu. Namun segera malaikat itu menenangkan para gembala serta memberi berita yang juga mengejutkan mereka tentang kelahiran Juruselamat yang mereka nanti-nantikan. “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan di kota Daud….” (Luk 2:10,11). Para malaikat lain datang pula, seraya menyenandungkan lagu pujian bagi Allah (Luk 214). Segera setelah para malaikat itu kembali ke sorga, para gembala itu pergi mencari kandang tempat kelahiran Sang Juruselamat itu (Luk 2:15,16). Setelah menemukannya mereka pun menyaksikan hal yang mereka alami malam itu. Mereka memberitakan ulang kabar sukacita dari malaikat itu (Luk 2:17). Mereka sangat bersukacita serta memuliakan Allah (Luk 2:20).
Para gembala itu adalah penerima berita, dan segera pula menjadi pemberita kabar sukacita itu. Mereka tidak menyimpan berita itu untuk dirinya sendiri melainkan segera membagikannya. Bagaimana dengan kita kini? Walau kondisi, waktu dan tempat berbeda, namun inti pengalamannya adalah sama. Kita telah mendengar berita tentang Juruselamat segala bangsa ini. Tentu berita itu bukan didengar dari seorang malaikat, melainkan dari orang tua sendiri, dari seorang pewarta Injil, atau seorang pendeta, bisa jadi dari seorang guru, rekan kerja, atau seseorang lainnya. Bukan pula di padang Efrata, melainkan di beragam tempat yang lain. Namun inti beritanya sama yaitu tentang Juruselamat bagi segala bangsa. Bagaimana reaksi kita? Sepatutnya kita teladani sikap para gembala Efrata itu. Malam itu mejadi malam istimewa bagi para gembala Efrata itu. Mari kita jadikan hari-hari mendatang menjadi hari-hari istimewa karena kita memberitakan berita kesukaan. Mari kita beritakan Tuhan Yesus kepada orang-orang yang belum mendengar berita itu. Harap hati mereka terbuka dan mengalami kesukaan keselamatan itu. Selamat menyongsong Natal. (PurT)
Pria mana yang tidak kaget saat mengetahui bahwa tunangannya hamil? Tentu Maria menjelaskan kepada Yusuf tunangannya hal kehamilannya itu. Karena Roh Kuduslah ia hamil (Mat 1:18). Pastinya Yusuf mempercayai Maria, sebab Maria adalah seorang gadis yang saleh, tidaklah terpikir oleh Yusuf bahwa Maria telah berselingkuh. Namun Yusuf tetap bingung. Ia mengambil keputusan untuk meninggalkan Maria dengan senyap (Mat 1:19). Dengan cara itu, ia memberi keleluasaan kepada Maria untuk menjelaskan hal kehamilannya kepada pihak yang mempertanyakannya. Namun malam itu saat ia tidur, malaikat Tuhan datang kepadanya dalam mimpi. Malaikat Tuhan meneguhkan Yusuf untuk tidak ragu mengambil Maria sebagai istrinya. Tiga perkara disampaikan Malaikat Tuhan sebagai peneguhannya: (1). Roh Kuduslah yang mengaruniakan kehamilan Maria itu. (2). Anak yang akan dilahirkannya itu adalah laki-laki yang akan jadi penyelamat umat manusia dari dosa-dosanya. (3). Penggenapan nubuat dari Nabi Yesaya (Mat 1:20-23).
Tanpa keraguan sedikit pun Yusuf langsung menyatakan imannya, ia segera mengambil Maria sebagai istrinya (Mat 1:24). Imannya itu berupa kesediaan untuk menaati hal yang dinyatakan malaikat Tuhan itu. Tentu Yusuf sebagai seorang pria saleh, Rasul Matius menulisnya sebagai pria yang tulus hati (Mat 1:19), dan beritikad baik memahami resiko dari tindakannya itu. Bisa jadi keduanya dituduh telah berjinah sebelum resmi berstatus suami istri. Setelah mereka resmi berstatus suami istri, Yusuf pun rela menahan diri untuk tidak berhubungan suami-istri hingga Maria melahirkan (Mat 1:25). Suatu keputusan yang luar biasa, ia rela bertarak diri, ia mengosongkan dirinya sebagai wujud dari imannya kepada Allah. Yusuf adalah pria yang bertanggung jawab, ia bawa istrinya menempuh perjalanan jauh ke Betlehem untuk penuhi kewajiban sensus (Luk 2:1-5). Ia tinggalkan rumah dan pekerjaannya dan tentunya ia tidak miliki banyak bekal, hal ini terbukti saat memenuhi tuntutan Taurat yaitu pentahiran mereka hanya mampu memberi korban berupa sepasang tekukur (Luk 2:22-24). Sebagai seorang beriman Yusuf sesaat setelah mendapat perintah dari malaikat Tuhan untuk mengungsikan keluarganya ke Mesir, ia langsung melaksanakannya (Mat 2:13-15). Tuhanpun telah memberi bekal mereka untuk hidup di pengungsian lewat persembahan para majus (Mat 2:11). Sesudah Herodes mati, malaikat Tuhan menyuruh Yusuf untuk membawa keluarganya balik ke tanah Israel, bahkan ia taat penuh kepada petunjuk malaikat Tuhan itu untuk balik ke kampung halamannya: Nazaret (Mat 2:19-23). Penginjil Lukas menyebutnya setelah menyelesaikan semua tuntutan Taurat, mereka balik ke Nazaret (Luk 2:39). Hidup Yusuf ini telah menjadi teladan hidup beriman sepenuh hati. (PurT)
Berulang kali Alkitab mencatat mujijat yang terkait kelahiran, seperti hal yang dialami Elisabet, istri imam Zakharia. Suatu mujijat yang luar biasa, seorang yang dinyatakan mandul apalagi sudah berusia lanjut bisa mengandung dan melahirkan seorang putra. Pengalaman Elisabet itu mirip dengan pengalaman Sara, istri Abraham, leluhur kaum Ibrani. Namun kedua ibu yang dinyatakan mandul dan sudah sepuh itu bagaimanapun keduanya memiliki suami. Halnya sangat berbeda dengan Maria, gadis warga kota Nazaret itu. Maria adalah seorang gadis yang saleh, yang dipilih Allah untuk menggenapi janji Allah yang diucapkan di taman Eden, sesaat setelah leluhur umat manusia jatuh ke dalam dosa. Sepanjang sejarah suci janji itu dikuatkan dan penggenapannya terjadi saat Maria ditetapkan sebagai gadis yang akan mengandung dan melahirkan seorang putra yang akan mengalahkan Iblis itu. Peristiwa ini lebih mustahil dibanding peristiwa yang dialami Ibu Elisabet. Peristiwa seorang gadis yang belum menikah bisa mengandung ini belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak terulang dalam sejarah umat manusia. Sungguh suatu peristiwa yang mustahil, namun menjadi kenyataan. Suatu mujijat yang tidak terbandingkan.
Sebagai seorang gadis yang saleh, tentunya sedikit banyak Maria tahu bahwa ada janji pemulihan bagi umat manusia yang terpelihara dan diteguhkan oleh para nabi. Namun saat malaikat Gabriel datang menjumpainya, dan memberitahukannya bahwa ia akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, Maria tidak percaya akan ucapan malaikat itu. Maria pun menyelanya, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (Luk 1:34). Sekalipun dalam kegentaran Maria mempertanyakan hal dasar itu, sebab kehamilan sudah Allah tetapkan sejak di taman Eden bahwa kehamilan hanya akan dialami seorang wanita melalui hubungan suami-istri (Kej 1:27,28). Berita dari malaikat Gabriel itu adalah kemustahilan yang tidak pernah terjadi. Malaikat Gabriel pun menjelaskan kepada Maria, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah…” (Luk 1:35). Malaikat Gabriel meneguhkan penyataannya itu dengan dua perkara, pertama hal kehamilan yang dialami Elisabet. Kedua, suatu prinsip dasar iman, bahwa bagi Allah tidak ada yang mustahil (Luk 1:36,37). Peneguhan yang kedua ini persis seperti saat TUHAN menjamin kepada Abraham bahwa Sara akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki (Kej 18:14). Maria pun menyerahkan dirinya kepada rencana agung Allah itu, kata Maria, ”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu.” (Luk 1:38). Inilah iman Maria, Iman yang mengaminkan rencana Allah; mengaminkan tidak ada yang mustahil bagi Allah. (PurT)
Imam Zakharia dan istrinya Elisabet adalah pasangan yang dikenal saleh, mereka hidup benar di hadapan Allah, taati segala perintah Allah tanpa cacat (Luk 1:6). Sesaat setalah penyunatan putranya yang diberi nama Yohanes Sang imam menyanyikan suatu kidung pujian tentang nubuat. Kidung nubuatan itu menunjukkan kekuatan iman dari sang imam. Mulanya imam Zakharia tidak yakin behwa ia akan menimang seorang anak sebab beliau sudah tua apalagi istrinya yang juga sudah lanjut usia itu dikenal mandul. Tentu saja untuk masa itu kemandulan adalah suatu “aib” (Luk 1:7). Itu sebabnya keduanya senantiasa berdoa untuk memperoleh keturunan (Luk 1:13). Namun saat malaikat Gabriel membawa berita bahwa doa mereka dikabulkan, dan Elisabet akan melahirkan seorang putra, imam Zakharia ragu. Malaikat Gabriel pun paham akan ketidakyakinan imam Zakharia itu, maka sebagai tandanya sang imam alami kebisuan sepanjang masa mengandung istrinya itu (Luk 1:20). Keraguannya sirna, keajaiban kuasa Allah dialaminya. Beliau bisu sepanjang Sembilan bulan, namun imannya bertumbuh dan menjadi sangat kokoh, bahkan mampu sampaikan nubuat terkait putranya dan Mesias yang akan datang. Keyakinan imannya itu nyata dalam kidung nubuat yang indah ini (Luk1:68-79). Seperti halnya Elisabet yang yakin bahwa Maria sedang mengandung dan akan melahirkan Mesias dari keturunan Daud (Luk 1:43,69).
Zakharia menyebutnya tanduk keselamatan dari keturunan Daud. Keyakinannya itu diteguhkan lewat pemahamannya tentang janji-janji dan nubuat-nubuat para nabi sejak Abraham (Luk 1:70-75). Tentang putranya, Yohanes beliau menyampaikan nubuat bahwa ia akan mendahului Tuhan untuk mempersiapkan jalan bagi kedatangan Sang Mesias itu (Luk 1:76). Imam Zakharia karena imannya mampu memahami rancangan besar Allah tentang pengampunan dosa dan jalan keselamatan (Luk 1:77). Walau sempat ragu karena usianya yang lanjut dan malaikat Gabriel pun menyebutnya tidak percaya akan perkataan yang disampaikannya itu (Luk 1:20) imam Zakharia berubah dan menunjukkan keyakinan imamnya yang luar biasa. Baginya keyakinan bahwa bagi Allah tidak ada yang mustahil bukan lagi keyakinan iman semata melainkan sudah teralami dengan nyata. Nubuatnya pun menunjukkan keakanan yang pasti terjadi. Alkitab telah mencatatnya bahwa nubuatnya itu terwujud lewat kelahiran Sang Mesias dan peran dari Sang putra, Yohanes Pembaptis. Peristiwa pra-natal adalah peristiwa teladan iman dari para tokohnya. Mereka menampilkan hidup beriman akan janji dan nubuat para nabi yang telah disampaikannya sejak purbakala (Luk 1:70). Peristiwa Natal bukanlah mitos keagamaan, peristiwa natal adalah penggenapan janji Allah lewat para nabi-Nya. Peristiwa natal adalah penyataan kasih Allah kepada umat manusia yang berdosa. Imanilah dan syukurilah. (PurT)
Sekitar 735 tahun Sebelum Kristus (SK) saat Ahas memerintah sebagai raja di Yerusalem, aliansi Aram dan Samaria datang mengancam untuk melakukan perang penaklukan atas Yehuda. Kegentaran pun melanda negara keturunan Daud ini, raja Ahas sangat ketakutan atas ancaman aliansi dua negara dari Utara itu (Yes 7:2). Dalam kegentingan itu wahyu Tuhan datang kepada Nabi Yesaya untuk meneguhkan Raja Ahas. Tuhan meyakinkan bahwa aliansi kedua negara tersebut tidak akan berhasil menaklukkan kerajaan Yehuda, bahkan kedua negara itu dalam waktu yang tidak lama akan ditaklukan oleh Asyur (Yes 7:16-20). Di tengah nubuat yang disampaikan Nabi Yesaya yang terkait situasi saat itu terbaca dengan jelas nubuat tentang akan mengandungnya seorang perempuan muda (gadis yang belum menikah) serta akan melahirkan seorang seorang anak laki-laki yang akan dinamai Imanuel (Yes 7:14). Tentu saja Yesaya yang adalah nabi Tuhan saat itu, belum paham betul makna nubuat yang disampaikannya itu. Beliau pun lebih cenderung memahami penggenapannya semata untuk konteks situasi saat itu yang terutama untuk meneguhkan hati Raja Ahas serta rakyat Yehuda (Yes 7:4). Nabi Yesaya tidak memahami bahwa nubuatnya tentang seorang gadis yang akan mengandung serta melahirkan seorang anak laki-laki itu bermakna ganda. Pemahaman Nabi Yesaya yang semata untuk saat itu tidaklah meleset. Yesaya menikahi seorang gadis, kemudian istrinya itu mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki (Yes 8:1-4). Sebelum anak itu menjadi remaja, Aram ditaklukan Asyur (732 SK) dan Samaria takluk pula (722 SK). Genaplah nubuat yang disampaikan sekiar tahun 735 SK itu.
Namun di luar pemahaman sang nabi, ada penggenapan yang lebih sempurna terkait nubuat itu: Pertama, yang akan mengandung itu betul-betul seorang gadis yang belum bersuami (Luk 1:34), namun karena Roh Kudus yang turun atas gadis itu dan kuasa Allah yang Mahatinggi yang menaunginya (Luk 1:35) keajaiban pun terjadi. Malaikat Jibrail saat meneguhkan hati Yusuf tunangan Maria mengingatkan nubuat Nabi Yesaya 7:14 itu (Mat 1:23). Kedua, gelar Imanuel lebih nyata bukan untuk putra kedua Yesaya dari istri keduanya itu, melainkan untuk Tuhan Yesus yang akan dilahirkan oleh gadis Maria itu. Kemudian hari menjelang Tuhan Yesus naik ke sorga, Beliau meneguhkan hal keimanuelannya itu (Mat 28:20). Nabi-nabi lain pun alami pengalaman serupa, misalnya Nabi Mika terkait tempat kelahiran Tuhan Yesus (Mik 5:1), Nabi Hosea terkait pengungsian ke Mesir (Hos 11:1) dan Nabi Yeremia terkait pembunuhan bayi-bayi oleh Herodes (Yer 31:15). Namun sekalipun para nabi itu tidak paham betul, nubuat-nubuat itu tergenapi secara teramat akurat. Hal itu menunjukkan bahwa di balik nubuat- nubuat itu adalah rancangan Allah untuk menyelamatkan manusia berdosa. Natal adalah peristiwa tidak terbandingkan. (PurT)
Perang sering dipicu oleh ambisi hegemoni, kekisruhan politik, masalah tapal batas, perebutan sumber daya alam ataupun membela agama. Dalam sejarah manusia hampir-hampir tidak ada babak sejarah tanpa perang. Konon hanya 8% dari rentang sejarah manusia yang tidak alami perang atau tahun-tahun yang terbilang damai. Negara-negara terutama di Eropa tanggal 11 November lalu, memperingati seabad terhentinya perang dunia pertama. Artinya, sebenarnya umat manusia merindukan dan menghargai adanya kedamaian. Bisa jadi pencetus perang itu pada umumnya bisa disebut sebagai suatu nafsu kedagingan. Namun bagaimana halnya dengan perang atas nama agama? Bukankah sangat kerap juga peperangan meletus untuk “membela” agama? Bisa jadi karena tanah asal kelahiran agamanya diduduki oleh penganut agama lain. Bisa jadi karena merasa penganut aliran agama lain sebagai musuh yang menghambat terwujudnya pengharapan utopianya? Atau dengan perang bisa segera mewujudkan harapan utopianya itu. Adalah menarik untuk menyimak ajaran Tuhan Yesus terkait dengan perang ini. Nabi Yesaya sekitar 740 tahun sebelum Tuhan Yesus dilahirkan telah menubuatkan salah satu gelar Tuhan Yesus yaitu: Raja Damai (Yes 9:5). Kitab-kitab Injil membuktikan bahwa selama Tuhan Yesus hidup secara jasmaniah di Tanah Kanaan, Beliau tidak pernah menganjurkan perang atau menggunakan kekerasan untuk alasan apapun. Padahal saat itu Tanah Kanaan berada dalam penjajahan Kekaisaran Romawi. Tentu saja wajar bila masyarakat umum saat itu sangat mengharapkan segera terwujud kembali Kerajaan Israel yang jaya seperti di masa Daud, moyang mereka.
Yang menarik laporan Injil Lukas, saat Tuhan Yesus beribadah di sinagoga di kota Nazaret, Saat Beliau membaca Kitab Nabi Yesaya 61:1,2, Beliau tidak membacanya secara utuh. Hal pembalasan Allah tidak beliau baca. Pasti dengan sengaja Beliau tidak membaca bagian itu. Kemudian Beliau menyatakan bahwa pada hari itu nast itu tergenapi (Luk 4:19,21). Tergenapi dengan kehadiran Beliau secara fisik saat itu. Tapi hal pembalasan Allah itu, baru akan digenapi saat kedatangan Beliau untuk kedua kalinya, kelak. Peristiwa itu menegaskan bahwa kedatangan Beliau pada kali pertama adalah penggenapan Dirinya sebagai Raja Damai; bukan sebagai penganjur perang. Saat Beliau terdesak disatroni sekitar 600-an satpam Bait Allah bersama serdadu Romawi di taman Getsemani, beliau tidak mengerahkan Bala Tentara Malaikat untuk membela-Nya (Mat 26:53). Bahkan saat Petrus mencoba membelanya, Tuhan Yesus justru memerintahkan agar pedang itu segera disarungkan kembali (Mat 26:52). Semangat “Perang Agama” dari Petrus pun diredam-Nya. Tuhan Yesus kemudian mengingatkan Petrus bahwa kedatangan-Nya adalah untuk menggenapi nubuat Kitab Suci (Mat 26:54). Beliau datang untuk menderita sebagai jalan pendamaian bagi segala bangsa (Luk 24:46; Rom 5:10). Selamat memasuki masa Advent (PurT)
Kain melampiaskan kebenciannya kepada Habel adiknya, adiknya itu diperdaya dianiaya sampai terbunuh. Itulah laporan suatu tindak kekerasan di jaman awal kehidupan manusia di bumi ini. Sejak itu tindak kekerasan di antara sesama manusia tidak pernah berhenti. Surat kabar, televisi, apalagi media sosial adalah saksi dari tindak kekerasan di antara manusia. Pelaku tindak kekerasan pun berasal dari segenap strata manusia. Orang tidak terdidik ataupun orang berpendidikan tinggi, orang miskin ataupun orang kaya, orang desa ataupun orang kota, anak kecil ataupun orang tua, pria ataupun wanita; pendeknya siapapun bisa menjadi pelaku kekerasan ini. Kebencian, kemarahan, ataupun absennya belas kasihan sering disertai tindak kekerasan. Tempat kejadiannya pun bisa di manapun; di rumah, di sekolah, di kantor, di pasar bahkan di jalan raya. Yang lebih menggentarkan adalah tindak kekerasan yang pelakunya bukanlah pribadi-pribadi melainkan kelompok orang. Para pelaku tindak kekerasan yang pelakunya kelompok orang ini, ada yang disebut pengeroyokan, tawuran, atau penyerbuan, bahkan kerusuhan dan penjarahan. Tindak kekerasan dengan motivasi politik pun kerap terjadi, apalagi di masa kampanye menjelang pemilu seperti saat ini. Yang memprihatinkan adalah tindak kekerasan atas nama agama. Para pemeluk aliran agama yang satu bisa menyerang pemeluk agama lainnya, bahkan menyerang pemeluk aliran lain dalam agama yang sama.
Namun yang patut kita hayati adalah pengajaran dan sikap hidup Tuhan Yesus. Kitab-kitab Injil tidak mencatat pengajaran Tuhan Yesus yang terkait dengan kekerasan. Sebaliknya Tuhan Yesus yang adalah penyataan kasih Allah (Yoh 3:16) mengajarkan kasih. Beliau mengutip Imamat 19:18 yang memerintahkan untuk, mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri, sebagai Hukum utama yang kedua (Mat 22:39) yang sejajar dengan Hukum Utama yang pertama yaitu perintah untuk mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi (Mat 22:37). Pengajaran dan sikap hidup Tuhan Yesus yang penuh kasih sayang itu merangkum kepada semua golongan; sesama manusia yang Beliau maksud itu bukan semata kasih kepada orang yang sesuku, melainkan kepada yang berbeda suku juga (Luk 10:25-37), bahkan terhadap orang yang memusuhi (Mat 5:44). Salah seorang murid utama Beliau pun mulanya adalah seorang pejuang yang tidak menutup kemungkinan memakai tindak kekerasan yaitu Simon yang dikenal sebagai orang Zelot (Mat 10:4). Saat Tuhan Yesus digerebeg oleh para satpam Bait Allah yang ditopang oleh serdadu Romawi, Tuhan Yesus melarang Petrus untuk melakukan pembelaan dengan pedangnya (Mat 26:52). Tuhan Yesus tidak menyuruh para murid-Nya untuk berkorban membela-Nya melainkan mengorbankan Dirinya untuk kita (Mat 20:28). (PurT)
Adalah biasa, orang tua mewariskan sesuatu kepada anak-anaknya. Pewarisan itu bisa bukan atas kehendaknya bisa juga atas kehendaknya. Yang hampir pasti bukan atas kehendaknya adalah mewariskan penyakit. Sedangkan yang atas kehendaknya bisa jadi mewariskan harta, mewariskan ilmu atau mewariskan iman kepada anak-anaknya itu. Sayangnya tidak sedikit orang tua bahkan kelompok orang mewariskan permusuhan kepada generasi anak-anak mereka. Ada subsuku tertentu yang umum bermusuhan dengan subsuku lainnya. Kisah awal permusuhannya pun diwariskan kepada anak-anak mereka, bahkan disertai peristiwa-peristiwa yang meneguhkan permusuhan itu, seakan alam pun menyetujui permusuhan itu. Menyedihkan. Peristiwa terbunuhnya pendukung Persija dikeroyok oleh pendukung Persib beberapa waktu lalu, menunjukkan pewarisan permusuhan dari generasi ke generasi antara kedua pendukung klub sepakbola ini. Menyaksikan pertandingan sepakbola yang seharusnya menyenangkan bisa menjadi peristiwa yang menakutkan. Permusuhan di dunia ini berawal dari jatuhnya nenek moyang manusia ke dalam dosa. Maka sejak itu, terjadi permusuhan antara keturunan manusia dengan keturunan Iblis (Kej 3:15). Iblis pun aktiv memelihara permusuhan itu, ia mengipasi orang, kelompok orang, suku bahkan penganut agama atau pendukung partai politik untuk saling bermusuhan. Bukankah peperangan di dunia ini berawal dari permusuhan?
Apa yang Tuhan Yesus sampaikan terkait permusuhan ini? Tuhan Yesus mengajarkan kasih. Kasih-Nya begitu mulia sehingga mencakup kasih kepada orang yang memusuhi juga (Mat 5:44). Perseteruan antara dosa dengan kekudusan pun Tuhan Yesus jembatani dengan pengorbanan-Nya di atas kayu salib, akibatnya orang percaya tidak lagi berada di bawah murka Allah, karena sudah dilimpahi kasih karunia-Nya (Efs 2:1-4). Orang percaya telah diperdamaikan dengan Allah oleh kasih Allah dalam Kristus (1 Yoh 4:10). Kepada orang-orang percaya yang berasal dari etnik berbeda di Roma Rasul Paulus menulis bahwa orang percaya seharusnya saling mengasihi apalagi di dalam Kristus ststusnya sudah menjadi saudara (Rom 12:10). Segala tembok kesukuan yang kerap menjadi pembeda bahkan bisa memicu menjadi permusuhan telah dirubuhkan di dalam Kristus. Orang Yahudi dengan kebanggaan agama samawinya menganggap bangsa lain sebagai tidak tahir, orang asing, namun di dalam Kristus Yahudi dan non-Yahudi menjadi bersaudara, bahkan kedua pihak sudah dijadikan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah (Efs 2:19). Marilah kita hadirkan hidup tanpa permusuhan suatu hidup berdasarkan asas saling mengasihi. Kiranya dengan berkat Tuhan orang yang belum percaya terpesona dan harap tertarik untuk beriman kepada Tuhan Yesus. Mungkin saja pilihan politik berbeda, tapi tidak boleh memantik permusuhan antar orang percaya. (PurT)
“Saya tidak boleh berteman dengan dia”, kata seorang anak. “Papa jangan nikahkan anak kita kepada orang anu” kata seorang Ibu menjelang meninggal dunia. “Ma, mengapa mereka memusuhi aku?” Tanya seorang anak keheranan kepada mamanya. “Heran, mereka tinggal hanya terpisah oleh jalan besar, tapi mengapa mereka tawuran begitu hebat?” ungkap seorang pemakai jalan umum. Anda bisa memperpanjang daftar ungkapan di atas. Bisa jadi Anda pernah mengalami pula rasa dibenci itu. Harap Anda tidak lagi miliki kebencian kepada siapa pun. Ungkapan-ungkapan rasa kebencian akhir-akhir ini sering mengemuka. Bahkan tampil sampai derajat yang menguatirkan. Seseorang bahkan sekelompok bisa membenci orang lain, karena berbeda tingkat sosialnya. Orang miskin bisa saja sangat membenci orang kaya, yang dinilainya orang kaya itu jahat, serakah. Atau orang kaya membenci orang miskin, yang dianggapnya golongan pemalas, dst. Bisa kebencian lahir karena mewarisi sentimen kesukuan, sentimen etnik atau sentimen keagamaan. Bahkan ada yang putus pacar, karena perbedaan pilihan politik menjelang Pemilu ini. Kita belum lupa ungkapan-ungkapan kebencian yang memenuhi jagad politik saat Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Harap kebencian tidak diumbar lagi saat bulan-bulan politik menjelang Pemilu 2019 ini.
Sayangnya kebencian seperti contoh-contoh di atas tidak absen juga dalam hidup orang Kristen. Sungguh disayangkan kalau sentimen suku, etnik, sosial, atau sentimen lainnya merusak kesatuan tubuh Kristus. Bisa jadi perbedaan denominasi gereja ikut meningkahi sentimen-sentimen di atas. Adalah menyedihkan kasus pembantaian etnik Tutsi oleh etnik Hutu di Ruwanda pada tahun 1994 lalu. Padahal kedua etnik itu sudah Kristen, walau beda denominasi. Rupanya sentimen etnik itu lebih kuat dari pada kekristenannya. Mari kita simak ajaran Tuhan Yesus. Dengan jelas Tuhan Yesus mengajarkan kasih. Kasih kepada sesama manusia (Mat 22: 39), bahkan kasih kepada pihak yang memusuhi (Luk 6:27). Sungguh suatu ajaran agung dari seorang pribadi yang agung. Tuhan Yesus bukan hanya mengajarkan hal kasih ini, Beliau memperagakannya pula. Tuhan Yesus tidak ikut dalam sentimen antara Yahudi dengan Samaria (Yoh 4:9), bahkan Tuhan Yesus jadi berkat bagi orang Samaria itu (Yoh 4:42). Lain waktu Tuhan Yesus mentahirkan orang Samaria yang kusta (Luk 17:16-18). Beliau pun menegur dua murid utama-Nya yang sentimen kesukuannya muncul saat rombongan Tuhan Yesus akan melewati satu desa Samaria menuju Yerusalem (Luk 9:51-56). Yang paling tidak nyaman bagi orang Yahudi saat Tuhan Yesus memberi perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati (Luk 10:25-37). Sebagai pengikut Kristus, mari kita hargai perbedaan sebagai pemerkaya hidup. Hindari kebencian karena perbedaan. (PurT)
Dua orang putra nenek moyang manusia yang bernama Kain dan Habel ini, memiliki tanggapan yang berbeda terhadap Allah yang diperkenalkan oleh orang tua mereka yaitu bapak Adam dan ibu Hawa. Bisa jadi bapak Adam menceritakan pengalamannya terusir dari Eden, karena ketidaktaatan mereka terhadap ketentuan Allah. Mungkin keduanya memberi pula penjelasan kepada kedua putranya itu bahwa Allah sudah beri contoh tentang kurban saat di Eden, yaitu saat bapak Adam dan Ibu Hawa dibuatkan pakaian dari kulit binatang (Kej 3:21). Namun karena belum pernah berjumpa, mendengar ataupun mengalami pengalaman seperti kedua orang tuanya, Kain kurang yakin dan saat memberi persembahan ia tidak sertai dengan iman. Sedangkan Habel, sekalipun belum memiliki pengalaman perjumpaan dengan Allah, ia tetap beriman kepada Allah yang disampaikan kedua orang tuanya itu. Maka saat ia memberikan persembahan ia mempersembahkannya dengan iman (Ibr 11:4). Akibatnya TUHAN mengindahkan persembahan Habel, sebaliknya tidak mengindahkan persembahan Kain (Kej 4:4,5). Reaksi sang kakak atas peristiwa itu, ia panas hati, mukanya muram pertanda marah (Kej 4:5). Namun TUHAN tetap mengasihi Kain, TUHAN mengingatkan Kain bahwa dosa telah mengintipnya, dosa itu menggodanya. Namun Kain tidak melawan godaan itu (Kej 4:6,7). Kain pun merancang niat jahat dan berhasil membunuh adiknya itu (Kej 4:8). Inilah tragedi kedua yang dilaporkan Kitab Kejadian setelah tragedi kejatuhan nenek moyang manusia ke dalam dosa. Kain yang berhati jahat itu iri hati kepada adiknya yang perbuatannya benar (1 Yoh 3:12).
Sikap iri hati bila dipelihara akan berkembang menjadi kebencian; kebencian yang dipupuk membuahkan pembunuhan. Peristiwa Kain Habel sangat kerap diulang dalam kehidupan manusia, bahkan sampai saat ini. Iri hati atas prestasi atau keberhasilan teman, tetangga, apalagi rival membawa seseorang untuk mencari cara menggangsir teman, tetangga atau rivalnya itu agar jatuh. Ada ungkapan jaman now untuk orang seperti itu susah melihat orang lain senang, bahkan senang melihat orang lain susah. Perhatikan nasihat TUHAN kepada Kain, “… Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik?...” (Kej 4:7). Dengan bersikap baik terhadap keberhasilan orang lain, kita akan bersukacita. Jangan sulit ucapkan selamat atas keberhasilannya. Bahkan, kita bisa belajar dari teman, tetangga, ataupun rival yang berhasil agar kita mengalami keberhasilan juga. Di tahun politik yang kita masuki menjelang Pemilu 2019 ini mari kita doakan agar kita tidak membaca atau mendengar penyataan iri hati dan kebencian di ruang publik. Kiranya para politikus dan timsesnya tidak biarkan kebencian penuhi hati mereka, sebaliknya memupuk jiwa besar, turut sukacita atas keberhasilan rivalnya. (PurT)
Tuhan yang Maha Tahu, Maha Sempurna menciptakan leluhur kita yaitu Adam d an Hawa menurut gambar-Nya (Kej 1:26). Manusia adalah ciptaan Allah yang sempurna yang diberi kewenangan atas mahluk-mahluk lainnya di bumi ini (Kej 1 :28). Leluhur umat manusia ini bisa kerkomunikasi dengan Allah, penciptanya. Namun karena leluhur manusia ini jatuh ke dalam dosa, maka hilanglah kesempurnaannya. Sejak itu manusia menjadi mahluk berdosa dan kondisi jasmaninya pun merosot, sejak waktu itu bisa mengalami kelelahan, sakit dan harus bekerja keras sebelum bumi ini memberi hasilnya (Kej 3:16-19) Namun akibat terbesar dari kejatuhan itu adalah putusnya relasi dengan Allah, penciptanya. Manusia tercipta memiliki panca indra, dengan panca indranya ini manusia bisa melihat, mendengar, mencium aroma, merasa dan meraba. Panca indra ini membuat manusia mampu menjalani hidup dengan memadai di dunia ini. Namun untuk menikmati relasi dengan Allah panca indra ini belum memadai. Untuk kembali menikmati relasi akrab dengan Allah dibutuhkan indra rohani. Setelah Tuhan Yesus menuntaskan pelayanan-Nya dengan karya salib-Nya dan kembali ke Sorga, Roh Kudus pun kemudian turun untuk mendiami setiap orang yang percaya kepada Tuhan Yesus (KPR 2:1-13). Roh Kudus adalah Pribadi Allah yang menyertai setiap orang percaya sepanjang jaman gereja ini. Dengan Roh Kudus inilah kita bisa mengenal rahasia Allah. Dengan-Nya orang percaya paham akan karunia Allah kepadanya (1 Kor 2:10,12).
Dengan bimbingan Roh Kudus pula, Rasul Paulus memberi pemahaman yang mendalam tentang hidup dan pemahaman spiritual ini bagi setiap orang yang sudah beriman kepada Tuhan Yesus. Beliau menulis penafsiran pengajaran rohani, demikian juga beliau berkata-kata tentang karunia-karunia Allah dengan hikmat dari Roh Kudus (1 Kor 2:13). Beliau menulis hal-hal di atas untuk meneguhkan keyakinan orang percaya bahwa manusia duniawi yang masih hidup dalam dosa mustahil memahami hal-hal yang berasal dari Roh Allah. Hal-hal rohani hanya bisa ditanggap oleh orang-orang yang telah didiami Roh Kudus. Inilah yang dimaksud dengan indra rohani itu. Kehadiran Roh Kudus dalam setiap orang yang percaya kepada Kristus membuat orang tersebut kembali menikmati relasi dengan Allah secara lebih indah; indra rohani-nya kembali dihidupkan. Bahkan dengan indra rohani-nya itu orang-orang itu mampu menikmati Firman Tuhan yang sudah diajarkan Tuhan Yesus dan diteruskan para rasul-Nya (1 Kor 2:14). Perserahan penuh kepada kuasa Roh Kudus akan membuat hidup orang beriman menjadi lebih indah dan relasinya dengan Allah menjadi lebih akrab. Buah kehidupan pun akan dihasilkan. (PurT)
Alkitab kita terdiri atas 66 kitab yang ditulis oleh lebih dari 30 orang dari latar belakang yang berbeda serta sebagian besarnya hidup pada jaman yang berbeda pula. Tentu kebanyakan dari para penulis ini pada umumnya tidak pernah berjumpa secara fisik. Jangka waktu penulisannya sekitar 1600 tahun. Yaitu mulai dari Musa, hamba Allah yang agung yang menulis kelima kitab Taurat 1500 tahun Sebelum Kristus (SK) hingga kitab-kitab yang ditulis oleh Rasul Yohanes (90 K). Namun ke 66 kitab ini menyatu menghadirkan tema utama yaitu kasih Allah yang menyelamatkan melalui Kristus. Tampak jelas bahwa di balik para penulis itu ada pribadi agung yang membimbing mereka yaitu Allah pribadi. Melalui Roh Kudusnya Allah menjagai para penulis ini. Ragam corak dan gaya penulisan dari kitab-kitab dalam Alkitab itu menunjukkan bahwa Allah tidak mendiktekan kebenaran-Nya melainkan Allah menyatakan kebenaran dengan beragam cara namun para penulis itu diberi keleluasaan untuk menuangkan kebenaran Allah itu sesuai dengan latar belakangnya, pengalamannya, maupun kemampuannya. Namun mereka dijagai oleh Roh Kudus agar terhindar dari kesalahan. Tuhan Yesus menyatakan kepada para rasul-Nya bahwa Roh Kudus itulah yang membawa mereka ke dalam seluruh kebenaran (Yoh 16:13).
Para penulis kitab-kitab tersebut bukanlah robot yang tidak memiliki keleluasan. Mereka adalah pribadi pilihan yang berserah kepada Allah dan Allah menghargai karakter serta memberi keleluasaan untuk menulis kebenaran itu sesuai dengan konteks dan tujuan tulisan. Mereka pun diberi keleluasaan untuk memilih peristiwa-peristiwa yang dialaminya sesuai dengan tujuan utama penulisannya. Kitab Nabi Yesaya diakui sebagai kitab yang agung dengan gaya tulisan yang anggun, Bahasa yang bagus; sedangkan kitab Nabi Amos dikenal pilihan ragam bahasanya adalah Bahasa kaum jelata seirama dengan latar belakangnya yang peternak (Am 1:1). Injil Matius mengandung begitu banyak kutipan Perjanjian Lama dan pemaparan hidup Tuhan Yesus sebagai menggenapi nubuat para nabi dari Perjanjian Lama. Hal ini sesuai dengan tujuan penulisannya untuk jemaat Yahudi yang sudah mengenal kitab Perjanjian Lama. Sedangkan Injil Yohanes memilih untuk menegaskan tentang keillahian Tuhan Yesus. Ia memilih tujuh ucapan Aku adalah, yang sama dengan penyataan Allah kepada Musa Aku adalah Aku (Kel 3:14). Yohanes jelas menyatakan bahwa Tuhan Yesus dengan Allah adalah sama (Yoh 1:1). Namun sebagaimana ditulis oleh Rasul Paulus bahwa segala tulisan itu adalah diwahyukan Allah dengan tujuan untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran (2 Tim 3:16). Sungguh Alkitab adalah karya pewahyuan yang dinamis. Bacalah. (PurT)
Siapa yang bertahta dalam pusat kehidupan kita, akan ternyata dari hidup jasmaniah kita. Bila si Aku yang jadi raja akan berbeda dengan hidup yang dirajai Roh Kudus. Karena keberdosaan manusia si Aku akan menghasilkan kehidupan kedagingan sedangkan Roh Kudus akan menghadirkan kehidupan rohani, kesalehan. Saat seeorang sungguh beriman kepada Kristus, yaitu orang yang bukan menjadi Kristen karena keturunan semata, atau sekedaragama formal, hidupnya akan didiami Roh Kudus (Efs 1:13). Saat orang itu menjadikan Roh Kudus sebagai raja hidupnya, yaitu perserahan kepada Allah secara sadar (Rom 6:13) mulailah perjalanan hidup yang dipimpin Roh Kudus. Perjalanan hidup yang dipimpin dalam Roh bukan berarti kehilangan gairah untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang secara umum dinilai bukan “rohani” semisal kerja sebagai PNS, pedagang, petani, guru, karyawan pabrik, pengusaha ataupun pejabat negara. Hidup yang dipimpin Roh Kudus adalah kehidupan wajar dalam kesehariannya namun orang itu akan menghadirkan kesalehan kristiani. Surat Galatia melukiskan orang yang dipimpin Roh Kudus itu tidak akan menuruti keinginan daging (Gal 5:16) dan akan menghasilkan buah-buah Roh dalam hidupnya: Kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Gal 5:22,23). Tampilan hidup yang menghadirkan buah roh adalah hidup kristiani yang saleh.
Satu kesalehan sosial yang menjadi berkat bagi lingkungannya. Apapun profesi orang yang hidupnya dirajai oleh Roh Kudus, orang itu menjadi berkat termasuk dalam konteks profesinya itu. Kesalehan hidupnya nyata dan hadir dalam kewajaran. Hidup seperti itu berbeda dengan kesalehan “hari Minggu” yaitu kesalehan yang diusahakan hadir pada hari Minggu saja. Pada hari Minggu itu orang itu tiba-tiba menjadi saleh, penuh senyum, ramah, lembut, sabar, baik hati, dan bisa menahan diri. Tentu saja menarik, bukan? Namun sayang hari-hari lainnya hidupnya berubah menjadi kasar, cepat marah, gampang tersinggung, jauh dari ramah. Itulah yang dimaksud dengan kesalehan “hari Minggu”, karena hanya berupa hasil rekayasa kehidupan Kristen kedagingan. Sayangnya kita tidak hanya hidup pada hari Minggu, kita harus pula menjalani hidup pada enam hari lainnya setiap minggu itu. Dengan pimpinan Tuhan, Rasul Paulus menantang jemaat Galatia untuk hidup dalam Roh (Gal 5:16), agar hidupnya mempermuliaakan Tuhannya dan menjadi berkat bagi komunitasnya, bahkan menjadi berkat di manapun orang seperti itu menghadirkan dirinya. Hidup yang dipimpin Roh kudus tentunya menjadi hidup yang menarik juga bagi orang belum percaya pun. Di antara orang Sunda yang menjadi percaya kepada Tuhan Yesus 21% di antaranya datang kepada Tuhan karena tertarik oleh kesaksian hidup dari orang Kristen. Mari kita sambut ajakan Rasul Paulus yaitu agar kita hidup dipimpin Roh Kudus. Kesalehan pun akan hadir secara wajar dan menjadi berkat. (PurT)
Apakah Anda pernah bercengkrama dengan bapak presiden Republik Indonesia? Apakah Anda miliki keberanian untuk menelepon beliau? Bapak Presiden Joko Widodo yang dikenal merakyat, seringkali mendatangi rakyatnya yang sedang menyiangi padi ataupun yang sedang berjualan. Adalah kehormatan bagi mereka untuk bercakap walau sejenak atau hanya untuk sekedar berjabat tangan dengan Bapak Presiden. Bagaimana dengan Allah pemilik semesta raya ini? Kehadiran Roh Kudus dalam diri orang percaya membuat orang percaya memiliki keberanian untuk menyeru Allah pemilik semesta raya itu dengan sapaan paling akrab: ”Ya Abba, ya Bapa!” (Rom 8:15). Roh Kudus bersama roh kita bersaksi bahwa kita adalah anak-anak Allah (Rom 8:16). Status anak Allah adalah suatu status teramat istimewa yang hanya diperoleh karena beriman kepada Tuhan Yesus. Kapan saja kita bisa menghadap Allah, doa kita menjadi berarti sebab tidak lagi berseru kapada Allah yang tidak dikenal, melainkan berseru kepada Bapa yang Maha Kasih. Namun adakalanya orang percaya diperhadapkan dengan kondisi sulit, atau berat. Sebegitu beratnya, sehingga keadaan orang percaya yang lemah menjadi tidak berdaya dan tidak tahu bagaimana jalan keluarnya, bahkan untuk sekedar berdoa pun terasa buntu. Firman Tuhan menyatakan bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin. Pengalaman itu masih teralami pula oleh orang percaya walau sudah didiami Roh Kudus (Rom 8:22,23).
Namun bagi orang percaya Roh Kudus membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan (Rom 8:26). Roh Kudus menopang hidup orang percaya itu. Dalam kondisi seberat apapun Roh Kudus akan memampukan kita untuk tetap tegar. Dan dengan keyakinan iman kita bisa berikrar bersama Rasul Paulus, kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (Rom 8:28). Allah yang Maha Kuasa, Hebat, Agung dan Pemilik semesta raya ini namun juga Allah yang sangat mengasihi anak-anak-Nya. Beliau sangat peduli dan paham akan pergumulan hidup anak-anak-Nya di dunia yang fana ini. Roh Kudus disertakan kepada anak-anak-Nya itu untuk menopang, menghibur, meneguhkan bahkan berdoa. Pemahaman akan keindahan relasi dengan Allah sebagai relasi Bapa-anak ini, seharausnya disertai keyakinan iman bahwa Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk kebaikan kita. Puji Tuhan. (PurT)
Saat Rasul Petrus dan Rasul Yohanes dihadapkan ke sidang majelis agama di Yerusalem, keduanya tampil dengan berani dan menyatakan pengakuan imannya, “… keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (KPR 4:12). Sebagaimana kita dapat ketahui bahwa keduanya adalah mantan nelayan di danau Galilea (Mat 4:18-22). Namun hari itu kedua mantan nelayan itu membuat para imam yang menyidangnya terheran-heran karena kedua orang biasa yang tidak terpelajar itu mampu begitu berani dan lantang ucapkan keyakinan imannya serta mampu kutip bagian firman dari kitab Mazmur. Kemudian mereka sadar bahwa keduanya adalah pengikut Tuhan Yesus (KPR 4:11,13). Para imam yang terhormat itu tidak sanggup membantahnya. Bagaimana mungkin para nelayan itu bisa berubah bahkan menjadi penafsir dan mampu pula berkotbah dengan penuh wibawa? Kotbah perdananya pun direspon ribuan orang yang memberi diri untuk bertobat (KPR 2:14-41). Sesuatu yang muskil telah terjadi. Petrus yang walaupun sudah mengikut Tuhan Yesus sekitar tiga setengah tahun masih menyangkali Gurunya saat terancam di pelataran tempat Tuhannya diadili (Luk 22:54-62), telah berubah total. Petrus lama telah tiada, Petrus baru telah hadir. Rahasia perubahannya adalah penyertaan Roh Kudus atas dirinya dan atas diri para rasul lainnya. Roh Kudus yang dijanjikan oleh Tuhan Yesus sesaat menjelang Tuhan menyerahkan Dirinya menjadi korban keselamatan bagi umat-Nya di atas kayu salib (Yoh 14:16,17) dan diteguhkan menjelang Tuhan Yesus naik ke sorga (KPR 1:8), itulah yang memberi mereka wibawa dan keberanian.
Namun janji penyertaan oleh Roh Kudus itu bukan semata teruntuk khusus para rasul, melainkan juga untuk segenap orang percaya sepanjang masa hingga Tuhan Yesus datang kembali untuk kedua kalinya kelak. Setiap orang yang percaya kepada Tuhan Yesus sejak peristiwa Pentakosta (KPR 2:1-13) didiami Roh Kudus (Eps 1:13). Roh Kudus yang menyertai orang percaya itu akan menyertainya sepanjang hidupnya (Yoh 14:16). Inilah fenomena baru tentang penyertaan Allah terhadap orang percaya, gelar Tuhan Yesus, imanuel mengejawantah sempurna dalam penyertaan Roh Kudus atas orang percaya ini. Namun kadar kuasa dan keberanian atas hadirnya Roh Kudus pada orang percaya masih ditentukan oleh kadar perserahan diri masing-masing orang percaya itu kepada Tuhan. Tuhan Yesus tidak menjadikan kita robot yang seragam, melainkan ditentukan oleh kadar perserahannya itu. Rasul Paulus menantang orang percaya di Roma untuk menyerahkan diri mereka sepenuhnya kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran (Rom 6:13). Kuasa hadir saat Roh Kudus diberi kewenangan atas hidup orang percaya itu. (PurT)
Seorang remaja yang tergoncang hebat akibat ayahnya meninggal di saat ia masih sangat membutuhkannya. Sekolahnya menjadi kacau, dan kemudian hidupnya terpuruk tergantung pada narkoba. Mulanya dengan ganja yang ia tanam sendiri di belakang rumahnya, dikeringkan dan disimpan sebagai pengganti kapok bantal tidurnya. Dari ganja beringsut kepada jenis narkoba di atasnya. Bukan lagi dikelinting dan diisap melainkan disuntikkan, bahkan disuntikkan di pangkal lidahnya. Hidup seperti itu dialaminya bertahun-tahun. Masa depannya suram ibunya tidak berdaya. Syukur kemudian ia berjumpa secara pribadi dengan Tuhan Yesus. Ia berserah total kepada Tuhan Yesus; hidupnya pun berubah. Ia mulai menekuni firman dan menata ulang hidupnya. Setelah stabil dan bisa bebas dari kecanduannya, ia mulai sekolah lagi. Sekalipun terlambat secara umur ia bisa mengejar ketertinggalannya bahkan sekarang ia adalah seorang hamba Tuhan yang tidak menampakkan sisa-sisa kecanduan narkoba sedikit pun. Tuhan sudah memerdekakannya dari belenggu dosa dan narkoba. Rasul Paulus yang juga telah mengalami perubahan arah hidupnya dan hidup dalam kemerdekaan Kristus, dengan wahyu Tuhan menulis kepada jemaat Tuhan di kota Roma, bahwa orang yang sudah dimerdekakan dari dosa itu berubah status menjadi hamba Allah. Bukan lagi hamba dosa. Sebagai hamba Allah terus diproses dan menghasilkan buah yang membawanya kepada pengudusan dan akhirnya ialah hidup yang kekal (Rom 6:22). Suatu proses hidup yang mengagumkan.
Beriman kepada Tuhan Yesus bukan semata sebagai Juruselamat pribadi yang memerdekakan dari belenggu dosa melainkan harus beranjak maju dengan menjadikan-Nya Tuhan dalam hidup kita. Kita kembali menghambakan diri namun menghamba kepada Tuhan Yesus yang telah memerdekakan kita dari perhambaan dosa itu (Rom 6:20). Rasul Yohanes menyebutnya pengalaman seperti itu sebagai betul-betul merdeka (Yoh 8:36). Pengalaman itu akan berlanjut kepada proses pengudusan, suatu hidup yang berkemenangan. Menang terhadap dosa, menang terhadap godaan kebiasaan lama yang sebelumnya mengikat. Seperti halnya remaja di atas yang bebas bahkan berkemenangan tidak lagi tergoda untuk kembali ke dalam belenggu narkoba, siapapun yang sungguh-sungguh dimerdekakan dalam Kristus bisa mengalami pengalaman hidup yang berkemenangan itu. Tuhan Yesuslah yang memberi kemenangan itu. Dalam suratnya kepada jemaat Korintus, Rasul Paulus menulis, … syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita (1 Kor 15:57). Hidup dalam kemenangan adalah hidup dalam kekudusan yang memuliakan Tuhan. Suatu hidup yang berawal dari pemerdekaan. Berserahlah kepada Tuhan dan nikmati hidup berkemenagan. (PurT)
Pada setiap acara memperingati hari kemerdekaan atau acara-acara kenegaraan tertentu lainnya disertai pengheningan cipta untuk mengenang jasa para pahlawan. Para pahlawan bangsa itu telah mengorbankan jiwa raganya demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan bagi bangsanya. Kitab Suci yaitu Alkitab, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru banyak berbicara tentang korban dan pengorbanan yang terkait dengan pengampunan dosa, tebusan dan kemerdekaan. Alkitab menulis tentang kemerdekaan yang lebih hakiki yaitu kemerdekaan dari dosa yang telah membuat manusia terbelenggu tidak bebas, bahkan terpisah dari Allah Penciptanya. Rasul Petrus dengan wahyu Tuhan menegaskan bahwa hidup manusia di luar Kristus adalah hidup dalam kesia-siaan. Suatu hidup yang diwarisi dari nenek moyang kita (1 Pet 1:18); inilah kehidupan dengan dosa warisan. Namun Allah Sang Pencipta telah menetapkan jalan keluar untuk kebebasan dari belenggu dosa itu. Sesaat setelah Adam dan Hawa jatuh dalam dosa secepat itu pula Allah menyampaikan janji kasih-Nya. Inilah janji kemerdekaan mula-mula, janji yang mengarah ke depan kepada karya salib Kristus (Kej 3:15).
Sepanjang Perjanjian Lama bayang-bayang salib itu diperagakan dalam ritual pengorbanan di Bait Allah, Yerusalem (Ibr 10:1).Domba yang dikorbankan sebagai jalan pengampunan dosa itu haruslah domba atau binatang lain yang tidak bernoda dan tidak bercacat. Semua pengorbanan di Bait Allah itu untuk mengingatkan umat Israel tentang adanya dosa yang harus dibereskan (Ibr 10:3). Namun pengorbanan yang sempurna untuk penghapus dosa umat manusia hanyalah wujud dari bayang-bayang itu yaitu pengorbanan Anak Domba Allah. Rasul Yohanes menunjuk bahwa Anak Domba Allah inilah yang menghapus dosa dunia (Yoh 1:29). Rasul Petrus menegaskan bahwa korban Kristus itu adalah korban yang tidak terbandingkan dengan segala korban yang bersifat fana. Inilah korban darah Kristus yang bersifat kekal. Darah dari satu-satunya pribadi yang tidak bernoda dan tidak bercacat (1 Pet 1:19). Inilah penebusan menuju kehidupan di alam kemerdekaan. Merdeka dari belenggu dosa. Sejak korban salib itu, orang percaya tidak perlu melanjutkan ritual korban domba atau binatang lainnya sebab ritual bayang-bayang itu sudah diganti oleh kenyataan yang sempurna: Korban Kristus. Korban di Bait Allah yang mengingatkan tentang adanya dosa diganti dengan mengingat karya salib yang memerdekakan orang percaya dari segala dosanya. Hidup seseorang yang telah dibarui oleh pengorbanan Kristus itu, tentulah hidup yang bebas dari kuasa dosa. Namun bukan berarti tidak bisa berbuat dosa lagi. Tetapi Tuhan menghendaki agar kita tidak hidup lagi di dalam dosa. Lewat rasul Yohanes kita ditantang untuk tidak berbuat dosa lagi (1 Yoh 2:1). Kekudusan adalah wujud penghargaan atas korban Kristus. (PurT)
Orang yang beriman kepada Kristus, tidaklah diselamatkan oleh kesalehannya, tidak pula oleh amalannya. Pahala sorga pun bukan diraih karena perbuatan baik yang dikumpulkannya, pelayanannya pun tidak berdampak terhadap pahala sorganya. Orang percaya semata-mata diselamatkan oleh anugerah, oleh karya keselamatan yang disediakan oleh Tuhan Yesus. Rasul Paulus menegaskan bahwa supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita (Gal 5:1). Namun sekalipun kita diselamatkan bukan oleh karena kesalehan kita, tidak berarti kita mengabaikan kesalehan itu. Dalam hal ini Rasul Paulus mengingatkan bahwa memang kamu telah dipanggil untuk merdeka, tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa (Gal 5:13). Seandainya kita yang sudah dimerdekakan dari kuasa dosa dan masuk ke dalam kemerdekaan-Nya, namun kita hidup tidak bertanggung jawab, hidup dalam dosa kembali, hidup dalam hawa nafsu kedagingan, hal itu berarti kita tidak menghargai pengorbanan Tuhan Yesus di atas kayu salib yang menderita sengsara demi kemerdekaan kita dari kuasa dosa itu. Untuk menikmati keselamatan, pengampunan dosa adalah tanggung jawab Tuhan, yaitu mengaruniakan keselamatan itu kepada orang percaya. Namun untuk kesalehan hidup adalah tanggung jawab kita. Kita dinasihati oleh Rasul Paulus untuk menyerahkan hidup ini kepada Tuhan sepenuhnya.
Kepada jemaat Tuhan di Roma Rasul Paulus menulis, …janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran (Rom 6:13). Tuhan menghendaki kita hidup yang dirajai oleh Tuhan sendiri dan hidup kita menjadi hidup yang memuliakan Tuhan. Kalau hidup orang yang mengaku beriman kepada Tuhan namun tidak beres, seperti pengalaman orang Yahudi sebagaimana ditulis oleh Rasul Paulus yang mengutip dari Kitab Nabi Yesaya, “Sebab oleh karena kamulah nama Allah dihujat di antara bangsa-bangsa lain.” (Rom 2:24). Nama Tuhan dihujat karena hidup orang yang mengaku percaya itu tidak memuliakan Tuhan. Dampak lain kalau hidup kita tidak saleh, orang lain akan tersandung dan tidak tertarik untuk beriman kepada Kristus. Sebaliknya kesalehan akan menjadikan orang percaya disukai banyak orang dan seperti kesaksian dari jemaat mula-mula di Yerusalem, setiap hari Tuhan menambahkan jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan (KPR 2:47). Mari kita renungkan, apakah hidup kita telah menjadi daya tarik bagi orang lain? Apakah nama Tuhan dimuliakan? (PurT)
Adalah menyedihkan, mendengar seorang anggota majelis suatu gereja menikah dengan seorang tidak beriman. Memang ia sudah bukan muda lagi. Ketika remaja putri ia aktif di persekutuan remaja, ketika muda ia mengajar di Sekolah Minggu, kemudian ia terpilih menjadi anggota majelis. Tentu ia berdoa untuk seorang jodoh, tetapi rupanya tidak kunjung datang. Saat seorang peminpin agama lain datang, berteman dan kemudian mengajaknya untuk menikah. Ia pun bersedia untuk dinikahinya. Mungkin ia berfikir kapan lagi jodoh datang. Warga gerejanya pun geger. Yakobus saudara seibu Tuhan Yesus yang kemudian menjadi ketua gereja Yerusalem dengan wahyu Tuhan menulis bahwa seseorang yang meneliti hukum yang memerdekakan dan bertekun di dalamnya, menjadi pelaku hukum tersebut orang itu akan alami kebahagiaan (Yak 1:25). Hukum apa yang memerdekakan itu? Itulah Injil, warta kemerdekaan di dalam Kristus. Jalan kemerdekaan adalah jalan kebahagiaan. Inilah jalan Injil itu. Seseorang di luar Kristus adalah orang berdosa yang harus mempertanggungjawabkan hidupnya di hadapan Tuhan. Rasul Paulus menyebutnya orang seperti itu hanya layak untuk menerima murka Allah (Efs 2:3). Namun dibebaskan, dimerdekakan oleh karya Kristus. Bukankah perubahan status itu harusnya sangat membahagiakan?
Untuk apa seseorang menikah? Ingin alami kebahagiaan! Inilah salah satu tujuan dari nikah. Sayangnya banyak pasangan tidak mengalami kebahagiaan itu, atau paling tidak kebahagiaannya itu hilang terlalu cepat. Padahal Injil kemerdekaan itulah jalan bahagia yang menembusi masa hidup di dunia ini. Beranjak dari hukum kemerdekaan untuk menggapai “kebahagiaan” adalah keputusan yang menyedihkan. Namun adalah kenyataan hal asmara ini telah membuat banyak orang tergelincir dan hilang. Selain asmara, kemiskinan telah pula membuat banyak orang meninggalkan iman kepada Kristus. Jenjang karier kerap juga menjebak orang percaya untuk menukar imannya kepada Kristus dengan jabatan atau kenaikan pangkat. Seakan hal itu bukanlah hal serius karena hal ini hanya soal berganti agama. Seakan seenteng berganti kantor, berpindah rumah bahkan seperti berganti baju semata. Padahal secara spiritual keputusan itu teramat serius. Meninggalkan status merdeka di dalam Kristus. Tidak menghargai pengorbanan Tuhan Yesus yang dijalaninya dengan penderitaan teramat berat dan tidak terbandingkan. Mengapa begitu gampang orang meninggalkan imannya? Paling tidak karena dua hal: (1). Tergoda oleh “kebahagiaan” atau pemenuhan kebutuhan fisik/reputasi sementara. (2) Tidak memiliki kebanggaan berada di dalam Kristus. Lain halnya dengan Rasul Paulus yang bangga bersama Kristus sehingga penderitaan macam apapun tidak menggoyahkannya untuk tetap di dalam Kristus (Rom 8:35-39). Banggakah Anda di dalam Krustus? (PurT)
Sebelum menjadi rasul Tuhan Yesus, rasul Paulus adalah seorang penganiaya para pengikut jalan Tuhan. Saat itu beliau mengira sedang berjuang membela agamanya. Namun saat menyaksikan Stefanus yang dirajam karena dinilai telah menista keagamaan Yahudi, Paulus muda ini batinnya tergoncang. Betapa tidak, Stefanus saat alami penderitaan hebat akibat dirajam itu, beliau sama sekali tidak mengiba-iba minta dikasihani dan juga tidak meminta Tuhan untuk menghukum para perajamnya. Sebaliknya Stefanus justru menyampaikan syafaat untuk para perajamnya itu, Beliau meminta para perajamnya itu diampuni (KPR 8:60). Pengalaman yang mengguncang batinnya itu Paulus coba redam dengan melakukan tindak kekerasan dan aniaya terhadap warga jemaat pengikut Tuhan Yesus. Sampai akhirnya beliau ditangkap oleh Tuhan dalam perjalanannya menuju Damsyik. Saya yakin saat itulah puncak pergumulannya menjelang pelampiasan terhadap orang-orang percaya untuk ditangkapinya, justru Tuhan menangkapnya. Sejak waktu itu beliau berubah total (KPR 9). Tuhan menyiapkan militan penganiaya jemaat Tuhan ini untuk menjadi rasul kepada bangsabangsa lain, raja-raja dan juga orang Israel (KPR 9:15). Kiprah selanjutnya dari Rasul yang militan ini sangatlah luar biasa. Injil disebarkannya kepada bangsabangsa lain, bahkan kalangan istana termasuk istana Roma. Beliau melaksanakan misi Tuhan dengan sangat baik sebagaimana dirancang oleh Tuhan. Manusia baru dengan tujuan baru. Puji Tuhan.
Namun bukan semata untuk Rasul Paulus hal tujuan baru itu. Namun bagi segenap orang percaya. Setelah orangorang berdosa, seperti halnya kita juga, mendengar dan kemudian beriman kepada Tuhan Yesus dan menikmati pengampunan dosa serta dianugerahi status baru: Anak Allah. Kita yang sebelumnya berstatus “orang mati” telah dihidupkan oleh rahmat-Nya, diselamatkan, bahkan dikaruniai tempat di sorga (Efs 2:4-6). Lantas sebagai ciptaan baru, setiap orang percaya ini diberi tujuan baru yaitu untuk melakukan pekerjaan baik (Efs 2:10). Bahkan sebagai orang percaya yang sudah dibebaskan dari segala kejahatan ini dikuduskan menjadi umat milik-Nya yang rajin berbuat baik (Tit 2:14). Alkitab sudah memberi kesaksian tentang orang-orang yang telah diubahNya menjadi umat yang memuliakan Tuhan. Adalah tantangan bagi kita kini untuk melanjutkan kesaksian kuasa Tuhan Yesus yang mengubah hidup setiap orang yang beriman kepada-Nya. Kita diciptakan baru, diberi status baru untuk berperan sebagai umat yang rajin berbuat baik. Suatu hidup yang menghadirkan kebaikan bagi sesama, suatu hidup yang menghadirkan buah-buah roh (Gal 5:22,23), serta hidup yang menyenangkan Tuhan sesuai dengan maksud-Nya. Mari kita minta kemampuan dari Tuhan untuk mewujudkannya. (PurT)
Perubahan status secara spiritual yang dialami seseorang yang beriman kepada Tuhan Yesus akan berdampak pula pada perubahan sikap secara sosial. Rasul Paulus menyebut orang yang memberi diri beriman kepada Tuhan Yesus atau orang yang berada di dalam Kristus itu sebagai ciptaan baru. Bahkan beliau menegaskannya bahwa manusia lamanya sudah tidak ada lagi yang ada hanya manusia baru (2 Kor 5:17). Rasul Yohanes melaporkan peristiwa perjumpaan seorang wanita Samaria yang mengisolasi diri, menghindar jumpa dengan para wanita Samaria lainnya. Ke perigi untuk mengambil air pun ia lakukan di tengah hari bolong (Yoh 4:6) untuk menghindari perjumpaan dengan para wanita Samaria lainnya. Rupanya ia seorang yang mandul yang sudah menikah lima kali dan sekarang hidup di luar nikah (Yoh 4: 18). Masa itu kemandulan adalah suatu aib. Namun hari itu ia jumpa dengan Tuhan Yesus. Setelah menyadari bahwa Tuhan Yesus adalah Mesias (Yoh 4:25,26) segala isolasinya robek. Ia pergi ke kota jumpai orang-orang Samaria dan memberitakan perjumpaannya dengan Mesias itu. Ia sungguh berubah menjadi berkat bagi kaumnya. Wanita yang mengisolasi diri itu telah tiada dan telah berubah menjadi wanita penyaksi. Maria Magdalena adalah seorang wanita yang terbelenggu oleh gangguan roh-roh jahat. Pernah ia dirasuki oleh tujuh roh jahat, namun setelah ia terbebas karena perjumpaannya dengan Tuhan Yesus ia menjadi murid Tuhan dalam rombongan para murid wanita yang turut membiayai rombongan pelayanan Tuhan Yesus (Luk 8:2,3). Maria Magdalena teruji dengan setia ikut Tuhan bahkan menjadi saksi kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus. Maria Magdalena yang terikat oleh rohroh jahat itu telah tiada ia telah berubah menjadi murid Tuhan Yesus yang tangguh.
Lukas melaporkan juga tentang seorang bernama Zakheus, kepala pemungut cukai di Yerikho yang kaya namun tidak disukai penduduk lainnya dan ia dinilai sebagai orang berdosa. Rupanya ia sudah kerap mendengar tentang Tuhan Yesus, maka saat Tuhan datang ke kotanya ia sangat ingin melihat Tuhan Yesus. Namun penduduk Yerikho lainnya tidak memberinya peluang untuk ia berdiri di tepi jalan. Ia pun terpaksa harus memanjat pohon ara untuk bisa melihat Tuhan Yesus. Malam itu Tuhan berkenan bermalam di rumah kepala pemungut cukai ini. Perjumpaannya dengan Tuhan Yesus malam itu telah mengubah hidupnya. Zakheus berubah menjadi peduli kepada orang miskin, ia relakan separuh dari hartanya untuk dibagikan kepada orang miskin dan orang yang pernah diperasnya ia rela ganti rugi sebanyak empat kali lipat (Luk 19:1-10). Zakheus lama yang menumpuk kekayaan dan tidak peduli perasaan bangsanya itu telah tiada yang ada adalah Zakheus yang murah hati dan telah menjadi berkat bagi orang miskin. Dunia akan diberkati oleh orang-orang yang hidupnya diubahkan oleh Tuhan Yesus. Kiranya hidup kita pun membawa berkat bagi orang-orang yang berjumpa dengan kita. (PurT)
Tentu Anda pernah melihat anak gelandangan berbaju kumal, rambut gimbal hidup sebagai pemulung. Makan alakadarnya, tidur pun beralas kardus. Kalau Anda mendekatinya bisa jadi aroma badannya membuat Anda tidak nyaman. Bisakah Anda membayangkan perubahan yang akan dialami seorang anak gelandangan itu bila seorang yang berada mengangkatnya menjadi anaknya? Status anak gelandangan itu berubah. Hidupnya pun berubah seketika. Ia tidak mengaisngais lagi sampah, pakaiannya menjadi bersih, rambutnya rapih, aromanya harum, tidur pun berkasur empuk di rumah yang nyaman pula. Karena sekarang ia bukan anak gelandangan lagi melainkan anak seorang yang berada. Alkitab memberitahukan kepada kita bahwa semua manusia berdosa akibat kejatuhan nenek moyang manusia: Adam dan Hawa (Kej 3). Namun Allah yang kasih itu turun ke dunia menggenapi janji yang telah disampaikannya di taman Eden (Kej 3:15). Allah mengambil rupa manusia dan menjadi manusia sejati persis seperti kita (Yoh 1:14) namun tidak berdosa. Rasul Yohanes menggambarkan hal intervensi Allah itu dengan gamlang. Allah yang menciptakan segala sesuatu (Yoh 1:3) dan Allah pemilik hidup itu (Yoh 1:4) mendatangi dunia menemui umat manusia untuk memulihkan relasi yang terputus sejak masa Adam dan Hawa itu. Adalah kenyataan bahwa dunia tidak mengenal-Nya dan kebanyakan manusia menolak-Nya (Yoh 1:10,11).
Namun mereka yang menerima-Nya statusnya diubah dan diberi kuasa menjadi anak-anak Allah (Yoh 1:12). Status seorang anak Allah adalah status yang teramat mulia, suatu status yang agung. Status ini bukanlah karena pencapaian yang dilakukannya melainkan karena anugerah semata, sebagai akibat dari penerimaannya atas anugerah keselamatan dalam Kristus. Seperti halnya gambaran di atas seorang anak gelandangan yang berubah status menjadi anak seorang berada bukan sebagai hasil pencapaiannya melainkan karena kasih dari orang berada itu yang mengangkatnya menjadi anaknya. Dalam status sebagai anak Allah, Rasul Paulus menyebut orang-orang yang sudah menerima rahmat Allah itu sudah memiliki tempat di sorga (Efs 2:6); luar biasa bukan? Itulah rahasia rahmat Allah yang mustahil bisa dicapai dengan usaha manusia. Semata-mata anugerah Tuhanlah pahala sorga itu bisa dinikmati seseorang yang telah menjadi anak Allah. Sebagai anak Allah seorang percaya pun memiliki relasi indah dengan Allah yang telah menjadi Bapanya. Sebagai seorang anak, orang percaya itu diberi kewenangan untuk menyapa Allah pemilik semesta raya itu dengan sapaan Bapa. Bapa yang kasih itu sedia mendengar seru doa dari anak-anak-Nya pula (Yoh 14:13,14). Apakah hal itu tidak hebat? Sungguh status anak Allah adalah status yang agung tidak terbandingkan. Sudahkan Anda berstatus anak Allah? (PurT)